Sabung Ayam : Antara Kegiatan Bertaruh dan Kearifan Lokal Masyarakat Indonesia

Sabung ayam, sebuah praktik yang telah berlangsung sejak zaman nenek moyang di berbagai wilayah Indonesia, kini menghadirkan perdebatan panjang: apakah ini sekadar hiburan, tradisi, atau bentuk perjudian terselubung? Bagi sebagian masyarakat, terutama di wilayah Bali, Sulawesi, dan sebagian Jawa, sabung ayam bukan hanya soal pertarungan dua ekor unggas. Ia merupakan bagian dari budaya, simbol kehormatan, dan ekspresi nilai-nilai lokal.

Namun di sisi lain, sabung ayam juga erat dikaitkan dengan praktik taruhan yang melibatkan uang dalam jumlah besar. Pertarungan antar ayam jago ini kerap menarik kerumunan, bukan hanya karena ketegangan yang terjadi di arena, tapi juga karena taruhan yang menggiurkan. Hal inilah yang membuat sabung ayam menjadi aktivitas yang berada dalam zona abu-abu secara hukum dan moral.

Antara Tradisi dan Praktik Perjudian

Di berbagai daerah, sabung ayam dianggap sebagai bagian tak terpisahkan dari upacara adat dan ritual keagamaan. Di Bali, misalnya, sabung ayam atau tajen merupakan bagian dari upacara tabuh rah—ritual pengorbanan darah yang diyakini mampu menolak bala. Tradisi ini diwariskan turun-temurun dan masih dijalankan dengan penuh hormat hingga kini.

Namun, tidak semua praktik sabung ayam dilandasi oleh nilai budaya. Dalam banyak kasus, sabung ayam menjadi ajang perjudian ilegal yang menyasar berbagai kalangan masyarakat. Taruhan bisa mencapai jutaan rupiah, dan tak jarang mengundang praktik kriminal seperti pemerasan, pengaturan hasil pertandingan, bahkan kekerasan.

Inilah yang menjadikan sabung ayam sebagai fenomena yang kompleks—di satu sisi dijaga sebagai warisan budaya, di sisi lain diburu oleh aparat karena dianggap sebagai bentuk perjudian yang dilarang hukum.

Perspektif Sosial dan Budaya

Untuk memahami fenomena sabung ayam secara utuh, kita perlu melihatnya dalam konteks sosiokultural masyarakat Indonesia. Clifford Geertz, seorang antropolog ternama, pernah mengulas sabung ayam di Bali sebagai bentuk representasi maskulinitas, harga diri, dan struktur sosial. Dalam esainya yang terkenal, “Deep Play: Notes on the Balinese Cockfight”, Geertz menjelaskan bahwa sabung ayam adalah sarana di mana laki-laki Bali menegaskan status sosialnya.

Ayam jago dalam konteks ini bukan sekadar hewan peliharaan, tetapi simbol kekuatan, strategi, dan kebanggaan. Pemilik ayam merasa seolah dirinya ikut bertarung di dalam arena. Dengan demikian, sabung ayam mengandung nilai-nilai seperti keberanian, kehormatan, dan solidaritas komunitas.

Namun realitas sosial juga berubah. Modernisasi, urbanisasi, dan kemajuan teknologi telah menggeser makna sabung ayam. Kini, pertandingan ayam bisa disiarkan secara daring, bahkan dijadikan sarana taruhan online lintas negara. Ini menimbulkan pertanyaan: apakah sabung ayam masih bisa dikategorikan sebagai kearifan lokal, atau sudah berubah menjadi bisnis perjudian digital?

Tantangan Regulasi dan Pelestarian Budaya

Pemerintah Indonesia melalui KUHP dan peraturan daerah telah melarang segala bentuk perjudian, termasuk sabung ayam yang mengandung unsur taruhan. Namun penegakan hukum sering kali berbenturan dengan kenyataan di lapangan. Di banyak wilayah, sabung ayam terus digelar secara diam-diam, bahkan didukung oleh tokoh masyarakat setempat.

Solusi yang diusulkan sejumlah pihak adalah membedakan antara sabung ayam yang bersifat budaya dan yang murni perjudian. Untuk itu, dibutuhkan pendekatan yang bijak: regulasi yang tidak mematikan warisan budaya, namun tetap tegas terhadap praktik ilegal. Edukasi kepada masyarakat tentang pentingnya menjaga nilai-nilai budaya tanpa harus melanggar hukum menjadi langkah penting ke depan.

Penutup: Menjaga Warisan, Meninggalkan Risiko

Sabung ayam adalah potret dari tarik-menarik antara masa lalu dan masa kini, antara tradisi dan regulasi. Di tengah kemajuan zaman, penting bagi kita untuk terus merefleksikan: mana yang layak dilestarikan, dan mana yang perlu ditinggalkan. Melestarikan sabung ayam sebagai bagian dari kearifan lokal bisa tetap dilakukan, selama tidak mengandung unsur perjudian yang merugikan masyarakat.

Dengan pendekatan yang arif, edukatif, dan adil, sabung ayam bisa menjadi contoh bagaimana budaya Indonesia tetap hidup tanpa harus mengorbankan hukum dan moral. Karena pada akhirnya, kearifan lokal bukan hanya soal menjaga tradisi, tetapi juga soal menyesuaikannya dengan nilai-nilai zaman.